Tajuk Mu – Kementerian Kehutanan (Kemenhut) memberikan apresiasi terhadap keputusan Pengadilan Negeri Pandeglang yang menjatuhkan hukuman berat bagi enam terdakwa dalam kasus perburuan badak jawa (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon. Hukuman yang dijatuhkan berkisar antara 11 hingga 12 tahun penjara, dan diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan terhadap satwa dilindungi.
Dalam pernyataan yang dikutip di Jakarta pada Kamis, Kemenhut melalui Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Ardi Andono, menyampaikan penghargaan kepada berbagai pihak yang telah berperan dalam proses penegakan hukum. Upaya tersebut melibatkan Direktorat Penegakan Hukum Kemenhut, Kepolisian Daerah Banten, Kejaksaan Tinggi Banten, Kejaksaan Negeri Pandeglang, serta masyarakat sekitar kawasan taman nasional yang turut berkontribusi dalam menjaga kelestarian spesies langka.
Menurut Ardi, vonis yang dibacakan dalam sidang tersebut merupakan hukuman tertinggi yang pernah dijatuhkan dalam kasus perburuan satwa liar di Indonesia. Keputusan ini diharapkan tidak hanya menjadi pelajaran bagi para pelaku kejahatan lingkungan, tetapi juga meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga kelangsungan hidup spesies yang terancam punah.
Sebagai langkah lanjutan untuk mencegah perburuan satwa dilindungi, Balai Taman Nasional Ujung Kulon berkomitmen untuk memperketat pengamanan di berbagai titik masuk ke kawasan konservasi. Langkah ini akan dilakukan melalui patroli intensif yang menerapkan konsep Fully Protected Area, yaitu penutupan wilayah Semenanjung Ujung Kulon dari Karang Ranjang hingga Tanjung Layar, yang menjadi habitat utama badak jawa. Selain itu, kawasan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) juga akan mendapat pengawasan ketat guna memastikan keamanan spesies langka tersebut.
Kasus perburuan badak jawa yang terungkap di TN Ujung Kulon telah memasuki proses hukum sejak Mei 2024. Keenam terdakwa akhirnya divonis oleh Pengadilan Negeri Pandeglang pada 12 Februari 2025.
Salah satu terdakwa, Sahru bin Karnadi, dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun serta denda sebesar Rp100 juta dengan ketentuan subsider tiga bulan kurungan. Sementara itu, lima terdakwa lainnya, yaitu Karip bin Usup, Leli bin Mudin, Atang Damanhuri alias Cecep bin Daman, Isnen bin Kusnan, dan Sayudin bin Lomri, masing-masing menerima hukuman 11 tahun penjara dengan denda yang sama.
Para pelaku ditangkap dalam Operasi Jaga Satwa, yang dilaksanakan secara gabungan oleh Polda Banten, Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum), serta K9 Mabes Polri. Operasi yang berlangsung selama 10 hari, dari 7 hingga 16 Mei 2024, berhasil menangkap satu orang bernama Atang, sementara lima lainnya menyerahkan diri secara sukarela.
Dalam persidangan yang digelar pada 9 Oktober 2024, para terdakwa mengakui telah membunuh sedikitnya enam ekor badak jawa dalam kurun waktu 2018 hingga 2022. Pengakuan ini semakin memperkuat bukti terhadap mereka, sehingga pengadilan menjatuhkan vonis berat sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap satwa yang berada di ambang kepunahan.
Dengan ditetapkannya vonis berat bagi para pemburu satwa langka ini, pemerintah berharap dapat memberikan efek jera serta mengurangi kasus serupa di masa mendatang. Penegakan hukum yang tegas dinilai sebagai langkah krusial dalam menjaga kelestarian fauna yang semakin langka, khususnya badak jawa yang populasinya kini sangat terbatas.
Selain tindakan hukum, kesadaran masyarakat juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan upaya konservasi. Oleh karena itu, partisipasi aktif dari warga sekitar kawasan konservasi dalam melaporkan aktivitas perburuan ilegal sangat dibutuhkan. Dengan kerja sama antara pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat, harapan untuk melindungi badak jawa dari ancaman kepunahan dapat lebih mudah terwujud.